Ahli psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, menilai Richard Eliezer bisa jadi hanya bertanggung jawab separuh dalam perbuatan pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Hal itu ia sampaikan kala diminta pendapatnya oleh kuasa hukum Eliezer memberikan pertimbangan atau kesimpulan dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan berencana ini, Senin (26/12). Reza dihadirkan sebagai ahli oleh pihak Eliezer.
Awalnya, Reza memaparkan soal eksperimen Stanley Milgram terkait kehendak untuk mematuhi perintah melakukan kejahatan. Di mana tekanan objektif penerima perintah bisa dilihat dari lima faktor: dari mulai soal institusi, otoritas, seragam, tempat kejadian, hingga perintah dilakukan di tempat sama atau tidak.
Dasar Reza mengatakan Eliezer hanya bertanggung jawab separuh dari kejadian tersebut, karena perbuatan dilakukan itu dinilai bukan semata kehendaknya. Ada tekanan yang dimasukkan ke dalam dirinya.
Mulanya, pertanyaan itu terlempar setelah Reza menjelaskan soal eksperimen Stanley Milgram terkait kehendak seseorang untuk mematuhi perintah melakukan kejahatan. Di mana tekanan objektif penerima perintah bisa dilihat dari lima faktor: dari mulai soal institusi, otoritas, seragam, tempat kejadian, hingga perintah dilakukan di tempat sama atau tidak.
Hal itu kemudian terkait dengan kaitannya dengan pertanggungjawaban perbuatan. Menurut Reza, ada 3 kemungkinan pertanggungjawaban pelaku, yakni:
Bertanggung jawab penuh, sebab pelaku paham serta berkehendak terjadinya tindak pidana
Sama sekali tidak bertanggung jawab, sebab tidak paham serta tidak berkehendak
Bertanggung jawab secara parsial. Bisa jadi tidak paham tapi berkehendak atau paham tapi tidak berkehendak
Kemungkinan itu kemudian dikonfirmasi oleh salah satu kuasa hukum Eliezer yang meminta Reza membuat penilaian terhadap posisi Eliezer dalam kasus ini.
“Saya mau bertanya kepada saudara ahli psikologi forensik, mengenai apa yang tadi Saudara ahli jelaskan tentang Miligram, ya. Pertama-tama mengenai masalah kepatuhan seseorang untuk melakukan perbuatan jahat atau buruk tergantung sosok pemberi perintah, punya otoritas atau tidak. Dalam hal ini, pemberi perintah berpangkat Irjen Pol, penerima perintah berpangkat Bharada, sekitar 18 beda level kepangkatan mereka, yang kedua, busana yang dipakai oleh pemberi perintah berpakaian polisi, baju dinas, yang ketiga perintah itu diberikan secara otoritatif di tempat kerjanya penerima perintah, keempat apakah di ruang sama. Mereka berada di ruangan sama, dalam jarak yang begitu dekat, tergantung lisan, cara menyampaikan perintah nomor lima, jelas sekali dalam peristiwa ini Saudara FS mengatakan 'woi kau tembak', cepat kau tembak', ada semacam tekanan yang kuat ke si penerima perintah,” kata kuasa hukum Eliezer.
Sang kuasa hukum menilai bahwa semua kategori Milgram yang dijelaskan Reza tersebut dipenuhi Eliezer. Membuat Eliezer menjalankan perintah Ferdy Sambo untuk menembak Yosua.
“Oleh karena itu, kami mau tanya, dari sudut pandang psikologi forensik, apakah hal-hal ini dapat mempengaruhi penilaian ahli sebagai ahli forensik untuk membuat suatu judgement, bahwa terhadap si penerima perintah dalam kondisi seperti ini, tidak bertanggung jawab atau kalau bertanggung jawab sedikit sekali pertanggungjawabannya?” tanya kuasa hukum Eliezer.
“Izin majelis, saya membuat judgement: tadi sempat saya sampaikan bahwa di khazanah psikologi forensik, untuk menakar pertanggungjawaban seseorang dibutuhkan dua hal yang harus ditelaah,” kata Reza.
Pertama, cognitive competence, yaitu capacity for the standing, yaitu seberapa jauh kapasitas untuk memahami perbuatan yang dia lakukan. Kedua, volitional competence, berarti berbicara terhadap kehendak untuk menampilkan perbuatan tersebut.
Kedua hal itu, kata Reza, harus terus digunakan untuk men-judge seseorang.
“Nah, secara mezzo, tadi saya sudah sampaikan, bahwa interaksi antara Richard Eliezer dan Ferdy Sambo, harus dipahami secara spesifik, harus dipahami secara konkret. Saya tidak tahu tidak spesifik atau konkretnya seperti relasi mereka saat itu di ruangan itu saya tidak tahu, tapi yang jelas saya sampaikan tadi beberapa temuan Milgram yang barangkali relevan untuk dicermati dikaji dalam persidangan ini dan juga jangan lupakan, dimensi makro bahwa boleh jadi, terhadap Richard Eliezer ini, tekanan sebagaimana disebutkan oleh penasihat hukum, tidak hanya datang dari FS, tapi pada dasarnya, Richard Eliezer ini sebagai individu yang dinaungi oleh sebuah culture tertentu di kantornya,” jelas Reza.
Kultur yang dimaksud Reza adalah 'jiwa korsa', kesetiaan terhadap institusi.
“Apakah yang terjadi kemudian merupakan salah satu jiwa korsa menyimpang, code of silent, tentu saja saya tidak tahu,” tambahnya.
“Tetapi paling tidak, kalau kita hitung-hitungan di atas kertas, berbicara tentang probabilitas, tampaknya, saya men-judge ini, Richard Eliezer punya cognitive competence, artinya, dia punya pemahaman tentang apa yang dia lakukan namun boleh jadi, ada persoalan serius terkait volitional competence, yaitu seberapa jauh sesungguhnya kehendak Richard Eliezer untuk melakukan perbuatan jahat tersebut,” terang Reza.
Hitung-hitungannya, tambah Reza, ketika kognitif kompetensinya ada, yaitu pemahamannya ada, sementara kehendaknya tidak ada.
“Maka boleh jadi, yang bersangkutan masuk dalam kategori personally responsible, bertanggung jawab separuh atas perbuatannya,” sambung Reza.
Terlebih, karena Eliezer berada dalam kondisi normal, tidak punya psikopatologi, bukan tipe orang yang kecerdasan di bawah rata-rata.
“Saya membayangkan yang bersangkutan paham tentang perbuatannya, paham tentang mana boleh dan tidak boleh, paham tentang aturan organisasinya, tetapi ada sebuah kehendak yang dimasukkan ke dalam dirinya, yang ditekankan ke dalam dirinya agar kemudian dia melakukan perbuatan jahat tersebut, personally responsible,” pungkas Reza.
Richard Eliezer didakwa membunuh Brigadir Yosua di Duren Tiga pada 8 Juli 2022. Polisi berpangkat Bharada itu menembak Yosua sebanyak 3-4 kali atas perintah Sambo.
Dalam kesaksiannya beberapa waktu lalu, Eliezer mengaku sempat bingung dan kaget saat mendapat perintah Sambo untuk mengeksekusi Yosua. Ia pun mengaku tak berani menolak karena takut senasib dengan Yosua.
Ia sempat dua kali berdoa yang isinya berharap Sambo berubah pikiran. Namun perintah itu tetap disampaikan Sambo.
Secara terpisah, Sambo membantah perintahkan Eliezer menembak Yosua. Ia berdalih perintahnya ialah 'hajar', bukan 'tembak'.
Sambo ikut didakwa bersama-sama melakukan pembunuhan berencana terhadap Yosua.