Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) mengantisipasi dampak perdagangan karbon subsektor pembangkit listrik yang sudah mulai di awal tahun ini terhadap kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.
Ketua Umum APLSI, Arthur Simatupang, mengatakan pada dasarnya pihak pelaku usaha menyambut baik mekanisme perdagangan karbon ini, dan berkomitmen untuk turut serta mengurangi emisi karbon .
“Prinsipnya kita menyambut baik, ini bagian dari yang kita canangkan upaya menurunkan gas rumah kaca, di mana emisi dari sektor kelistrikan memang jadi satu mandatori dari sisi industri yang harus diperhatikan terutama emisi dari PLTU,” jelasnya kepada wartawan di kantor Kementerian ESDM, Rabu (22/2).
Adapun Kementerian ESDM telah mengkaji kisaran harga karbon berada di rentang USD 2-18 per ton CO2 ekuivalen (CO2e). Meski begitu, Arthur menyebutkan masih harus mendalami lebih lanjut terhadap mekanisme ini.
“Mekanisnya kita lihat lagi, yang jelas batas atas emisinya sudah jelas itu yang kita perlukan kemarin dan kelihatannya dari ukuran output-nya juga sudah jelas, nanti kita coba dulu ya praktiknya seperti apa,” lanjutnya.
Dia melanjutkan, yang terpenting bagi pelaku usaha adalah bagaimana supaya PLTU mengurangi emisi di bawah Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi GRK (PTBAE), yang sekaligus bisa menciptakan nilai tambah.
“Itu bisa menjadi opportunity juga karena justru effort-effort (usaha) yang bisa diturunkan untuk menurunkan emisi itu kan itu sesuai dengan target dekarbonisasi malah mempunyai nilai yang jelas sekarang, ada value added (nilai tambah),” imbuh Arthur.
Sementara dampaknya kepada biaya operasional, Arthur menyebutkan dirinya belum menghitung secara pasti dampaknya. Dia memastikan sudah ada berbagai antisipasi untuk menekan emisi, seperti memasang continuous emission monitoring system (CEMS).
“Misalnya dari pemakaian bahan bakunya, bisa dari speknya bisa kita adjust dan modify, ada setting-setting di boiler juga bisa dilakukan modifikasi. Kita juga sudah pasang CEMS monitoring sekarang lebih ketahuan tingkat emisi bisa diantisipasi lebih awal,” jelas dia.
“Sisi engineering bisa, komponen bahan bakunya bisa, dan dari konteksnya juga bisa ada beberapa hal yang hybrid bisa kita pasang rooftop, dan juga cofiring kita uji coba juga, kalau itu bisa menurunkan emisi kita coba,” tambah Arthur.
Sebelumnya, PT PLN (Persero) telah mempersiapkan sederet langkah agar mekanisme perdagangan karbon yang wajib dilakukan seluruh pembangkit PLN tidak memengaruhi tarif dasar listrik (TDL).
Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN, Gregorius Adi Trianto, menjelaskan formula penghitungan cap atau batas atas emisi karbon mengalami perubahan, yaitu ditentukan berdasarkan rata-rata tertimbang intensitas emisi PLTU.
“Tentunya ada PLTU yang melebihi cap dan ada yang di bawah cap. PLN akan mengupayakan semaksimal mungkin untuk menurunkan emisi pembangkit,” jelasnya kepada kumparan, Senin (9/1).
Jika emisi karbon PLTU masih melampaui cap, lanjut dia, maka akan diupayakan terlebih dahulu melalui skema perdagangan karbon dan kegiatan offsetting melalui pembangkit-pembangkit PLN yang berasal dari energi baru terbarukan (EBT).
“Sehingga ketetapan harga biaya pokok produksi dapat ditekan dan tidak memengaruhi tarif dasar listrik,” imbuh dia.