Pihak Kuat Ma'ruf menghadirkan Dosen Sistem Peradilan Pidana Fakultas Hukum UII Muhammad Arif Setiawan sebagai ahli yang meringankan.
Dalam persidangan, pihak kuasa hukum bertanya sejumlah hal kepada ahli. Mulai dari delik pembunuhan dan pembunuhan berencana, penyertaan dalam suatu tindak pidana, lie detector, hingga pembuktian dakwaan.
“Jika uraian dakwaan tidak terbukti dalam persidangan, konsekuensinya apa terhadap terdakwa?” tanya kuasa hukum Kuat dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (2/1).
“Kalau dakwaan tidak terbukti, ya konsekuensinya kalau kita lihat KUHAP [Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana], ya, bebas, dakwaan tidak terbukti, lho,” jawab Arif.
Kuat Ma'ruf ialah salah satu terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua. Ia didakwa turut serta bersama Ferdy Sambo dkk melakukan pembunuhan.
Dakwaan penyertaan ini pula yang kemudian digali kuasa hukum Kuat. Mereka meminta penegasan dari Arif soal maksud penyertaan dan unsur-unsur yang harus terpenuhi supaya bisa dikatakan dan terbukti penyertaan. Penyertaan ini diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang didakwakan JPU ke Kuat.
“Ke persoalan penyertaan di Pasal 55 dikaitkan dengan Pasal 338 KUHP, tolong ahli menjelaskan kepada kami seperti apa penyertaan itu, Pak?” tanya kuasa hukum Kuat.
Arif lalu menjelaskan, penyertaan ada beberapa bentuk. 'Sebagai pembuat orang yang melakukan perbuatan, orang yang turut serta melakukan perbuatan, dan orang yang menyuruh melakukan perbuatan pidana. Nah, itu bentuk-bentuk penyertaan,” kata Arif.
Bentuk-bentuk penyertaan itu, lanjut dia, mempunyai konsekuensi masing-masing di dalam pembuktiannya.
“Untuk bentuk yang pertama, di pidana sebagai pembuat sebagai orang yang melakukan perbuatan, itu adalah mereka yang melakukan perbuatan, yang memenuhi semua unsur delik yang didakwakan. Kemudian yang kedua, kalau dalam bentuk yang menyuruh melakukan berarti ada dua pihak atau lebih, di mana satu pihak adalah pihak yang menyuruh dan yang kedua adalah yang disuruh,” jelas Arif.
“Yang melakukan perbuatan materiil itu yang disuruh, di dalam bentuk penyertaan yang seperti ini yang disuruh itu tidak bisa dipidana karena dia tidak mempunyai niat jahat seperti yang menyuruh. Karena yang punya niat yang menyuruh, yang menyuruh itulah yang bisa dimintai pertanggungjawaban,” tambahannya.
“Kemudian yang ketiga, dalam turut serta, kalau bentuk turut serta berarti dua pihak atau lebih yang mempunyai kesepakatan bersama untuk sama-sama mempunyai kehendak mewujudkan terjadinya delik atau terjadinya tindak pidana,” lanjut Arif.
Namun pada bentuk yang terakhir yakni turut serta, tambah Arif, harus ditemukan kesepakatan di dalamnya. Kesamaan paham untuk mewujudkan suatu tujuan tindak pidana. Ia bisa dikatakan turut serta apabila ada kesepahaman pemikiran atau meeting of mind.
“Dengan demikian, kalau dikaitkan penyertaan itu dengan persoalan kesengajaan, berkaitan dengan delik yang di situ ada kesengajaan, berarti kalau bentuknya turut serta berarti antara peserta yang satu dengan peserta yang lain harus yang terjadi kesepahaman pemikiran, meeting of mind untuk mewujudkan delik,” terang Arif.
“Secara sederhana meeting of mind itu seperti apa bisa diartikan?” kejar kuasa hukum Kuat.
“Meeting of mind itu adalah kesepahaman kesamaan di dalam mewujudkan tindakan sesuai dengan tujuan yang sudah ditentukan. Kalau pembunuhan maka meeting of mind itu peserta satu dengan peserta yang lainnya sama-sama menghendaki terjadinya kematian orang lain,” kata Arif.
“Misalkan seseorang melakukan sesuatu di luar kesepahaman meeting of mind tadi?” tanya kuasa hukum Kuat lagi.
“Kalau ada meeting of mind, keduanya bersepakat sama untuk mewujudkan delik jadi terjadinya delik, itu adalah sesuatu yang sama-sama dipahami,” jawab Arif.
“Jika ada seseorang yang ada di waktu dan tempat kejadian perkara, tanpa ada meeting of mind, apakah mungkin orang itu ditarik keikutsertaan?” tanya kuasa hukum Kuat mempertegas.
“Karena tadi sudah saya sampaikan, kalau itu bentuknya turut serta harus ada meeting of mind, maka tidak semua orang yang berada di dalam satu tempat ketika itu terjadi satu kejahatan, itu berarti turut serta,” ungkap Arif.
“Tergantung apakah orang yang ada di situ itu terjadi kesepahaman yang sama enggak, untuk terjadi kejahatan tadi yang dimaksud. Kalau itu ada kesepahaman yang sama di antara orang di situ, berarti ada meeting of mind,” tambah Arif.
Dan untuk mencari apakah ada kesepahaman atau tidak, itu tergantung bukti yang dihadirkan di persidangan.
“Itu semuanya menyangkut pembuktian saja,” pungkas Arif.