Pemerintah sedang menyelesaikan negosiasi program Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS), sebagai bentuk dukungan transisi energi terhadap Indonesia.
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, memastikan kriteria program tersebut tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah sedang berhati-hati dalam menjalankan program transisi energi tersebut.
“Indonesia berkomitmen transformasi ekonomi dengan emisi rendah dengan transisi energi sebagai kunci. Kami yakin tidak perlu mengorbankan pertumbuhan ekonomi, melainkan kita harus membangun ekonomi yang berkelanjutan bagi generasi masa depan,” ujar Luhut dalam konferensi pers di BICC Nusa Dua Bali, Selasa (15/11).
Luhut menyampaikan, Indonesia sedang menjalankan kerja sama paling bersejarah dengan Jepang dan Amerika Serikat untuk bergabung pada program JETP. Program ini mendukung target perubahan iklim sebesar USD 20 miliar dan mendorong pembiayaan secara swasta dalam 3-5 tahun ke depan.
“Sejujurnya pekerjaan (transisi energi) ini tidak mudah. Dengan melihat keseimbangan saat ini, kami tetap percaya diri,” lanjutnya.
Luhut menyebut persiapan program transisi energi memerlukan waktu selama 6 bulan. Persiapan ini mempertimbangkan berapa jumlah pinjaman yang diperlukan dalam pendanaan, termasuk suku bunga pinjaman.
“Saya pikir kepercayaan antara dua sisi Amerika Serikat dan Indonesia sangat tinggi. Indonesia memiliki potensi 37 gigawatt energi terbarukan,” sambungnya.
Menurut Luhut, USD 20 miliar tidak cukup dalam pendanaan program JETP. Namun pihaknya bersepakat untuk memulai persiapan program dengan dana tersebut.
“Terkadang perlu biaya dan teknologi untuk menjalankan program. Sekarang kami telah mendapat biaya dan teknologi untuk menyusun dan menjadwalkan program tersebut,” pungkas Luhut.