Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI ) menyebut pendidikan seks atau sex education untuk melindungi anak-anak dari kejahatan seksual masih minim. Sedangkan arus informasi terkait konten-konten pornografi begitu deras dan mudah diakses.
“Sosialisasi terkait perlindungan anak dalam hal ini sex education sangat minim. Padahal dampak yang dialami anak-anak kita saat ini sangat luar biasa dengan banjirnya informasi. Informasi yang tidak layak dilihat mempengaruhi tumbuh kembang mereka, termasuk video, film, dan seterusnya,” kata Komisioner KPAI Jasra Putra kepada kumparan, Selasa (17/1).
Jasra meminta agar pemerintah kembali memberikan perhatian yang lebih kepada anak, karena selama tiga tahun terakhir pemerintah fokus pada penanganan COVID-19.
“Kalau kita tarik secara luas sosialisasi terkait reproduksi remaja selama pandemi ini kan mengalami masalah, karena negara resources-nya lebih banyak ke COVID,” ucapnya.
Faktor kemiskinan
Selain soal minimnya pendidikan seks pada anak, Jasra menyebut kemiskinan juga menjadi faktor mengapa anak akhirnya hamil di luar nikah. Seperti yang terjadi pada ratusan anak di Ponorogo, Jawa Timur. Mereka hamil saat masih duduk di bangku sekolah.
“Kasus Ponorogo terkait pernikahan usia anak yang mana hamil duluan, kasus tersebut pernikahan siri yang sudah berlangsung, lalu hamil dan anak mengajukan dispensasi pernikahan. Ada pun faktor yang banyak mempengaruhi adalah lingkungan keluarga yang mempengaruhi situasi kemiskinan. Anak tidak melanjutkan pendidikan di desa tersebut, di mana tamat SMP [langsung] menikah,” katanya.
Sehingga keberadaan pusat konseling dan pelayanan bagi anak dinilai perlu kembali dihidupkan. Seperti Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) harus kembali dibuka bagi masyarakat umum.
“Ke depan kita berharap anak-anak yang usia remaja mampu dibangun tempat curhatnya. Di mana anak-anak kita kesehatan jiwanya mengalami situasi yang tidak mudah. Tentu harus banyak tempat curhat, konseling, keluarga memastikan hadir memberikan perhatian bagi anak-anak kita,” katanya.
Sementara soal pendidikan seksual, Jasra menyebut bahwa anak di sekolah telah diajarkan, bahkan dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
“Terkait pendidikan seksual di kurikulum sebenarnya sudah ada ya. Di PAUD, ada pelajaran yang disampaikan oleh guru, sentuhan yang boleh dan tidak boleh. Kemudian ketika mendapat sentuhan yang tidak boleh anak harus melakukan apa. Kemudian termasuk guru harus melapor ke mana. Begitu juga tingkat SD, SMP, SMA,” kata Jasra.
Peran aktif guru bimbingan konseling di sekolah diharapkan mampu menjawab berbagai rasa ingin tahu remaja. Keluarga di rumah juga diyakini harus memberikan pengetahuan seksual kepada anak sesuai umurnya.