Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM ), Prof. Budi Daryono, berhasil 'menyulap' ukuran melon menjadi sebesar buah apel. Cikal bakal melon yang menyusut ini ternyata ada hubungannya dengan curhatan ibu-ibu.
Prof. Budi telah meneliti melon sejak 1997. Namun pada 2012 dia mulai mencoba melakukan penelitian dengan mengubah ukuran melon menjadi sebesar buah apel. Musababnya muncul keluhan ibu-ibu soal terlalu besarnya ukuran buah melon.
“Ada banyak keluhan dari ibu-ibu yang saya sebutkan di medsos itu emak-emak. Saat beberapa kali mengadakan pertemuan mereka sering ribet kalau misalnya bepergian. Kemudian kalau ke supermarket gitu, apalagi kalau nggak ada bapak-bapaknya yang nolong kaya bawa sendiri semangka atau melon yang besar itu memang memberatkan,” kata Prof. Budi kepada kumparan, Senin (9/1).
Para ibu-ibu tersebut kemudian memberikan tantangan kepada Prof. Budi untuk menciptakan melon yang ukurannya lebih efisien. Merasa tertantang, Prof. Budi lantas melakukan serangkaian penelitian dan ternyata berhasil. Dia ‘menyulap’ ukuran melon jauh lebih kecil hingga seukuran buah apel . Kini melon ini tersebut diberi nama Hikadi apel.
Jika melon biasa memiliki berat 2 sampai 3 kilogram, Hikadi Apel ini hanya seberat 200 gram untuk yang ukuran baby dan 600 gram untuk ukuran yang standar. Nama Hikadi Apel juga memiliki makna yang mendalam. Nama itu diambil dari Hika yang merupakan anak Budi.
“Hikadi Apel. Selesai 'ngerakit', anak terkecil saya namanya Hika 2012 dia lahir. Makanya Hikadi, Hika anaknya Pak Budi. Apel karena bentuknya mirip apel, itu saja,” katanya.
“Kita berpikir ini kan kita punya ilmunya punya teknologi juga bagaimana hibridisasi. Sebenarnya proses perakitannya menggunakan molekuler marker. Itu kita manfaatkan saja.”
Tak hanya berukuran kecil, melon ini juga kaya akan nutrisi, terutama vitamin A. Menurut Budi, melon ini bisa jadi pengganti wortel bagi anak-anak. Seperti diketahui, tak semua anak gemar memakan wortel.
Melon ini juga mudah ditanam. Menggunakan budidaya tanah cukup 60 hari sudah bisa panen. Jika menggunakan hidroponik waktu yang dibutuhkan hanya 65 hari saja. Hanya saja jika ditanam di dataran tinggi memerlukan waktu 80 sampai 85 hari.
“Sudah banyak dibudidayakan kami merakit tahun 2012. Kita ada kerja sama dengan petani di Blitar, Kampung Melon di sana sampai masif,” katanya.
Budi sendiri mampu panen 3,5 ton dari 2,5 hektare lahan di Prambanan. Selain itu budidaya juga dilakukan di green house hidroponik di Kalasan, Sleman dan Panggang, Gunungkidul.
Menanam melon Hikadi Apel juga menguntungkan. Satu kilogram melon ini seharga Rp 35 ribu. Jauh lebih tinggi dibanding melon biasa yang berkisar Rp 10 ribu per buah. Namun melon ini rasanya lebih enak dan manis.
“Harga cukup bagus konsumen juga banyak. Sekarang Rp 35 ribu per kilogram ini termasuk premium menengah,” katanya.
Menurut Prof. Budi, tantangan yang ada saat ini adalah hilirisasi. Bagaimanapun, dia mengatakan dirinya adalah peneliti bukan pengusaha.
“Ketika itu masuk ke market ada beberapa kendala kita contoh saja kalau mau jujur misalnya dengan konsinyasi kita kan berat. Kenapa ini pengembangan belum menasional? Problemnya di hilirnya itu,” katanya.